|

4 Penulis Dari Blora, Lahir di Tanah Hutan Jati

Dari dulu, penulis dari Blora terus melahirkan karya-karya monumental baik novel maupun jurnalistik, yang hingga kini karyanya tetap terabadikan.

Penulis Dari Blora
Tirto Adhi Soerjo, ‘Bapak Pers Indonesia’ jadi pribumi pertama yang memanfaatkan media media cetak untuk melawan penjajah Belanda. MANTRAIDEA/Dafa W. Pratama

Mantraidea.com – Siapa sangka, banyak penulis dari Blora yang tak bisa diremehkan baik di kancah nasional maupun internasional. Sedikit informasi, Blora merupakan kabupaten paling lengang di Jawa Tengah. Meski demikian, Kabupaten Blora terkenal dengan hutan jati dan jadi salah satu penghasil minyak terbesar di Indonesia. 

Tak hanya itu, kabupaten seluas kurang lebih 1.820 kilometer persegi ini juga memiliki banyak penulis novel hingga jurnalis. Bahkan, beberapa karya mereka telah diadaptasi menjadi sebuah film. Lantas, siapa saja penulis dari Blora yang banyak menorehkan prestasi?

1. Tirto Adhi Soerjo

Tirto Adhi Soerjo, lahir sebagai Raden Mas Djokomono di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880 dan meninggal di Batavia, 7 Desember 1918. Ia dikenal sebagai tokoh pers yang berperan penting dalam kebangkitan nasional Indonesia. Dengan inisial T.A.S., Tirto merupakan pelopor dalam dunia persuratkabaran dan kewartawanan di Indonesia.

Tirto menerbitkan beberapa surat kabar penting seperti Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Ia menjadi pribumi pertama yang memanfaatkan media cetak dan gerakan politik sebagai sarana untuk melawan penjajah Belanda. 

Melalui karya jurnalistiknya, Tirto menunjukkan bahwa kaum pribumi mampu menjadi agen penggerak perubahan. Kisah hidupnya diangkat oleh sastrawan terkemuka yaitu Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya, termasuk ‘Tetralogi Buru dan Sang Pemula’.

 Pada tahun 1973, pemerintah Indonesia secara resmi mengakui kontribusi Tirto Adhi Soerjo dengan menyematkan gelar ‘Bapak Pers Indonesia’. Gelar Pahlawan Nasional disematkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 85/TK/2006 pada 3 November 2006. Kemudian, diikuti dengan pemberian Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana pada 10 November 2006.

2. Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer dan buku Tetralogi Pulau Buru, karya monumental yang tercipta saat ia diasingkan di Pulau Buru, Maluku. MANTRAIDEA/Dafa W. Pratama

Pramoedya Ananta Toer atau Pram, lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Ia merupakan sastrawan terkemuka Indonesia dan anak sulung dari delapan bersaudara yang tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang guru, sementara ibunya adalah pedagang nasi. Meskipun mengalami banyak kesulitan dalam pendidikan, Pram tidak pernah menyerah dan terus berjuang untuk menggapai cita-citanya.

Pendidikan Pramoedya Ananta Toer dimulai di Institut Boedi Oetomo dan berlanjut di Radio Vakschool. Pada 1942, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di Kantor Berita Domei sambil melanjutkan pendidikan. Karya pertamanya, ‘Sepoeloeh Kepala Nica’, ditulis pada tahun 1946, sayang naskahnya hilang. Pram kemudian menjadi redaktur di Balai Pustaka dan meraih penghargaan sastra untuk novel ‘Perburuan’.

Namun, karier Pram tidaklah mulus. Ia sempat diasingkan ke Pulau Buru oleh pemerintah, karena keterlibatannya dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selama masa pengasingan, Pram menghasilkan karya-karya monumental dalam bentuk Tetralogi Pulau Buru, yang meliputi ‘Bumi Manusia’, ‘Anak Semua Bangsa’, ‘Jejak Langkah’, dan ‘Rumah Kaca’.Pramoedya Ananta Toer telah menerima banyak penghargaan atas kontribusinya di dunia sastra. Mulai dari Ramon Magsaysay Award pada 1995 dan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Michigan pada 1999.

3. Soesilo Ananta Toer

 

Soesilo Ananta Toer
Soesilo Ananta Toer saat ini aktif mengurus Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) di Jetis, Kabupaten Blora. Sumber: Youtube Espos Indonesia

Soesilo Ananta Toer, lahir pada 17 Februari 1938, merupakan saudara Pramoedya Ananta Toer. Masa kecilnya diliputi kesulitan ekonomi setelah kematian sang ayah. Bersama saudara-saudaranya, Soesilo berjuang untuk bertahan hidup di Jakarta dan terpaksa mengandalkan bantuan kecil dari Pram untuk biaya sekolah.

Mengikuti jejak Pram, Soesilo bertekad menjadi penulis dan akhirnya mendapatkan beasiswa untuk studi S2 di Patrice Lumumba University, Uni Soviet. Beruntung, ia meraih gelar doktor di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Namun, kehidupannya sebagai mahasiswa tidak selalu mudah, terutama setelah peristiwa G30S 1965.

Kini, Soesilo aktif menulis dan mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA), yang didirikannya setelah Pramoedya wafat. Selain itu, ia juga menulis buku-buku yang mencerminkan pengalaman hidup dan pemikirannya, termasuk ‘Dunia Samin’, ‘Dari Blora ke Rusia’, ‘Pram Dari Dalam’, dan lainnya.

4. Kalis Mardiasih

Kalis Mardiasih
Tak hanya aktif menulis, Kalis Mardiasih juga merupakan aktivis yang peduli akan isu-isu perempuan. MANTRAIDEA/Dafa W. Pratama

Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis muda kelahiran Blora, 16 Februari 1992, dikenal melalui karyanya yang membahas isu-isu keislaman dan perempuan. Selain aktif menulis, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan organisasi.

Kalis menempuh pendidikan di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Selama masa kuliah, Kalis mulai mengembangkan bakat menulisnya, meskipun keluarganya menghadapi kesulitan ekonomi.

Dalam kariernya, Kalis menerbitkan tiga buku bertajuk ‘Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!’, ‘Muslimah yang Diperdebatkan’, dan ‘Luka Luka Linimasa’. Ia juga aktif di Nahdlatul ‘Ulama (NU), yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Serta, menjadi anggota komunitas Jaringan Nasional Gusdurian yang mengusung nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan keadilan sosial, sesuai dengan pemikiran almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Pada September 2024, Kalis Mardiasih mendapat perhatian lebih luas ketika film ‘Seni Memahami Kekasih’ yang mengisahkan kisah asmara antara dirinya dan suaminya, Agus Mulyadi, dirilis. Film tersebut diproduksi oleh IDN Pictures dan diadaptasi dari novel ‘Sebuah Seni Untuk Memahami Kekasih’, yang ditulis oleh Agus Mulyadi. Menariknya, film ini juga menyoroti nilai-nilai cinta dan komitmen dalam menghadapi tantangan hidup.

Beberapa penulis tersebut membuktikan bahwa Kabupaten Blora telah melahirkan banyak penulis berbakat. Bahkan, memiliki pengaruh besar di kancah nasional dan internasional. Mulai dari Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer, Soesilo Toer, hingga Kalis Mardiasih. Ini menunjukkan bahwa dari tanah yang kaya hutan jati ini, lahir karya-karya yang merefleksikan perjuangan, harapan, dan cinta. 

Biasanya Paramantra kerap membaca novel karya siapa? Jawab di kolom komentar ya!

Referensi: 

Mengenal Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional

Pramoedya Ananta Toer

Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis

Siapa Kalis Mardiasih yang Disebut Ganjar di Debat Capres ke-5?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *