Buka Franchise Indonesia, Maunya Untung Malah Buntung
Meski tingkat keberhasilan franchise Indonesia relatif tinggi, tapi resiko gagal tetap ada. Bahkan, bisnis yang buka outlet besar sekalipun.

Mantraidea.com – Industri bisnis franchise Indonesia sempat ramai diperbincangkan karena beberapa brand yang viral berhasil mencuri perhatian publik. Apalagi, semua sudah terbentuk sedari awal, mulai dari sistem, pengalaman, hingga proses perintisannya. Tak ayal, banyak merek yang membuka outlet secara besar-besaran, bahkan dalam waktu yang cenderung bersamaan.
Dua diantaranya adalah Menantea dan Traffic Bun. Membuka gerai secara besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia, bahkan menawarkan pengalaman kuliner unik dengan sentuhan kreatif yang menyasar generasi milenial dan Gen Z. Namun, apa yang terjadi ketika tren tak lagi sejalan dengan realitas?
Kesuksesan Instan dan Strategi Ekspansi Usaha Agresif
Sebelum membahas lebih lanjut, bisnis franchise Indonesia yang viral seringkali tampak sukses dalam sekejap. Misalnya, bisnis Menantea, brand minuman ini digawangi oleh YouTuber terkenal, yaitu Jerome Polin. Saat membuka gerai pertama tahun 2021, antusiasme publik sangat tinggi.
Menantea dipasarkan sebagai #tehbuahpalingenak dengan keunggulan menggunakan buah segar setiap hari serta menawarkan beragam pilihan snack. Tak heran jika awalnya banyak yang tertarik, apalagi dengan promosi masif di media sosial.
Menurut laporan dari Bisnis.com, biaya standar untuk membuka gerai Menantea berkisar Rp125 juta, dengan estimasi omzet Rp35 juta hingga Rp49 juta per bulan. Sayangnya, kenyataan di lapangan nggak selalu seindah yang dibayangkan.
Banyak konten review bermunculan, salah satunya dari akun TikTok @Josuadavid yang viral karena menyebutkan bahwa penawaran dari Menantea tidak sesuai ekspektasi. Keluhan mengenai harga dan kualitas menjadi perbincangan hangat. “Enak sih tapi overprice-nya bikin mikir 2x kalau mau repeat order,” ujar salah satu akun menanggapi.
Hal serupa terjadi pada Traffic Bun yang mengusung konsep burger kekinian dengan visual menarik, hingga viral di media sosial. Bisnis milik selebgram Fadil Jaidi ini resmi membuka gerai pertama pada Maret 2021.
Namun, di platform TikTok, beberapa akun menyebut harga yang ditawarkan cenderung terlalu mahal. “Sebenarnya Traffic Bun tuh enak, cuma harganya mahal sih,” cuit netizen.
Menariknya, kedua contoh bisnis waralaba di Indonesia ini menggunakan strategi pemasaran digital yang kuat, memanfaatkan kekuatan influencer, dan tren kuliner yang sedang booming. Gerai-gerai pun dibuka secara serentak di berbagai wilayah, mengesankan ekspansi usaha yang cepat dan masif.
Sayangnya, keviralan bisa menjadi pedang bermata dua, jika tidak diimbangi dengan kualitas dan harga yang sesuai. Sebab, bisnis franchise seperti ini rentan mengalami penurunan drastis setelah hype awal berlalu, parahnya bisa dikatakan sebagai usaha franchise gagal.
Menarik untuk dibaca: Buka Franchise Indonesia, Maunya Untung Malah Buntung

Gagalnya Skema Bisnis Franchise
Menurut data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menunjukkan bahwa bisnis franchise mengalami pertumbuhan rata-rata 10-15% per tahun sejak 2019. Selain itu, Kementerian Perdagangan RI juga mencatat bahwa sektor franchise berkontribusi sebesar 1,9% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Industri makanan dan minuman menjadi penyumbang terbesar dengan 47,92%, diikuti oleh sektor ritel sebesar 15,28%.
Bisnis waralaba tidak hanya memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional, tetapi juga membuka banyak peluang kerja. Namun, meski banyak brand yang sukses menggelar promosi besar-besaran, tidak semua pebisnis meraih kesuksesan. Lantas, apa penyebab gagalnya bisnis franchising?
Menantea dan Traffic Bun adalah dua brand yang sempat viral dan digadang-gadang akan menjadi bintang baru di dunia kuliner. Naas, justru tergelincir oleh strategi ekspansi usaha yang terburu-buru. Setelah mencapai puncak popularitas, keduanya membuka banyak outlet dalam waktu singkat sebagai upaya untuk menangkap momentum. Strategi ini terlihat menjanjikan di awal, tapi ternyata membawa konsekuensi negatif.
Ketika permintaan awal tinggi, banyak franchise membuka banyak outlet dengan harapan akan terus mengalirkan keuntungan. Sayangnya, setelah euforia awal mereda, kualitas pelayanan dan produk sering kali tidak bisa dipertahankan.
Kesalahan berikutnya adalah menawarkan franchise hanya beberapa bulan setelah gerai pertama dibuka. Padahal, berdasarkan regulasi, sebuah bisnis harus memiliki pengalaman minimal lima tahun sebelum menawarkan sistem franchise dan memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW). Dengan tidak mematuhi aturan ini, franchise yang ditawarkan cenderung rapuh karena belum memiliki pondasi kuat dalam operasional maupun manajemen.
Menantea dan Traffic Bun menjadi contoh nyata bagaimana keviralan di media sosial tidak bisa menjadi satu-satunya modal dalam bisnis. Meskipun keduanya memanfaatkan kekuatan influencer dan tren digital untuk mencuri perhatian publik, hal itu tidak cukup untuk menjamin kelangsungan bisnis dalam jangka panjang.
Belajar dari Menantea dan Traffic Bun
Bisnis franchise Indonesia utamanya di bidang kuliner selalu membutuhkan inovasi untuk tetap relevan di pasar. Setelah brand meraih popularitas, penting untuk terus mengembangkan menu, konsep, atau pelayanan baru yang sesuai dengan tren dan kebutuhan konsumen. Ini akan membantu mempertahankan minat dan loyalitas konsumen.
Sebelum membuka banyak outlet, perlu untuk memastikan sistem operasional, supply chain, dan manajemen telah siap untuk mendukung pertumbuhan bisnis waralaba. Kualitas produk dan konsistensi pelayanan harus menjadi prioritas utama. Setiap outlet harus mampu menjaga standar yang sama untuk menciptakan dan memuaskan pengalaman konsumen dimanapun lokasinya.
Ingat! Konsumen masa kini semakin kritis, viralitas tanpa didukung oleh kualitas produk dan pelayanan yang konsisten hanya menghasilkan loyalitas sementara. Kalau menurut tanggapan ParaMantra gimana nih? Spill di kolom komentar ya!
Menarik untuk dibaca: 8 Strategi Bisnis F&B untuk Tarik Minat Pelanggan dan Tingkatkan Penjualan