Jajanan Rambut Nenek Tetap Eksis di Tengah Inovasi Makanan Baru
Mantraidea.com – Masih ingat dengan jajanan rambut nenek? Camilan manis yang juga dikenal sebagai arbanat ini mengingatkan banyak orang pada masa kecilnya di era 80-an dan 90-an. Sayangnya, jajanan ‘jadul’ (jaman dulu) ini sempat meredup di tengah gempuran inovasi makanan baru yang terus bermunculan.
Nah, bagi ParaMantra yang rindu kenangan manis masa kecil, ada kabar baik nih. Pasalnya, ‘rambut nenek’ kini kembali populer di kalangan milenial dan generasi Z. Rasanya yang manis dan teksturnya yang lembut membuat jajanan ‘jadul’ ini tetap banyak penggemar. Tapi, tau nggak? Ternyata, rambut nenek makanan khas dari Jawa Timur, loh!
Zaman Arbanat Dengan Bunyian Khasnya
Arbanat memiliki tampilan serupa dengan rambut nenek dan sering kali diberi warna cerah seperti merah muda, kuning, atau hijau. Kalau dulu, penjual arbanat menjajakan dagangannya dengan berkeliling sambil memainkan alat musik semacam rebab yang mengeluarkan bunyi ‘ngik-ngok’. Suara ini begitu ikonik, ditambah dengan bentuk jajanan rambut nenek yang unik dan membuat banyak orang penasaran pengen nyoba.
Kala itu, cara menyajikannya juga cukup sederhana. Kalau ada yang beli, ya langsung dimasukin plastik aja. Biasanya, penjual sangat fleksibel dalam melayani permintaan pelanggan. Bahkan, pembeli bisa meminta kombinasi warna sesuai favoritnya. Meski sederhana, cara penyajian ini menambah kesan nostalgia dan kehangatan. Kangen ya?
Inovasi di Era Jajanan Modern
Di era modern ini, jajanan rambut nenek mendapatkan sentuhan baru. Banyak toko kue dan gerai oleh-oleh di kota-kota besar mulai menjual rambut nenek dalam kemasan yang lebih higienis dan menarik. Ini membuatnya cocok sebagai buah tangan atau camilan nostalgia yang asik buat dimakan kapan saja.
Menurut Teguh Frananda, pemilik Aromanis Golden Ways di Kota Batu, penjualan jajanan ‘jadul’ ini meningkat drastis dari beberapa tahun terakhir. “Banyak anak muda yang mulai mencari lagi (arbanat). Katanya sih, ada yang penasaran pengen mencoba jajanan tradisional, ada juga yang ingin nostalgia,” tambahnya.
Oleh karenanya, untuk memenuhi hal tersebut beberapa pebisnis arbanat di berbagai daerah mulai mengembangkan varian baru. Misalnya, dengan menambahkan topping lelehan cokelat untuk menarik banyak konsumen, terutama dari kalangan muda yang gemar mencoba hal-hal baru. Bahkan, ada variasi yang menyajikannya dengan kerupuk rambut nenek yang sering disebut opak atau simping oleh masyarakat.
Tentu, momentum ini tak lepas dari perbincangan hangat di media sosial. Banyak pengguna media sosial yang membagikan foto dan video saat menikmati ‘rambut nenek’. Bahkan, lengkap dengan cerita masa kecilnya. Kadang, beberapa dari mereka juga menggabungkan jajanan rambut nenek dengan es krim, milkshake, atau sebagai topping pada dessert modern lainnya. Nggak cuma bikin rambut nenek makin terkenal, tapi juga bikin penampilannya makin kekinian.
Selain itu, harga ‘rambut nenek’ juga tidak menguras kantong, mulai dari Rp10.000 hingga Rp60.000 saja. Tapi, ini tergantung dari kemasan dan berat bersih ya ParaMantra.
Pertahankan Cara Manual
Menariknya, berkat inovasi tersebut, eksistensi arbanat tetap tinggi dan tidak pernah sepi peminat. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa kerap kali mencari jajanan ini. Selain dari warnanya yang mencolok dan membuat arbanat memiliki daya tarik sendiri, ternyata proses pembuatannya pun juga cukup unik.
Hingga kini, banyak produsen yang mengaku cara membuat ‘rambut nenek’ masih manual atau dengan tangan. Arumanis rambut nenek terbuat dari bahan utama yaitu gula pasir yang dipanaskan hingga meleleh dan membentuk gumpalan adonan yang disebut gulali. Adonan yang lembek tersebut kemudian diproses dengan cara tarik-ulur, sesekali diberi tepung dan minyak agar arbanat tidak menempel satu sama lain.
Dalam proses produksi tersebut memerlukan insting dan pengalaman khusus. Sebab, jika gula yang direbus kurang masak, maka adonan akan keras dan tidak dapat digunakan lagi. Sementara itu, kalau gula terlalu matang justru akan menghasilkan tekstur terlalu lentur dan mengeluarkan rasa pahit.
Proses tersebut jarang dimiliki orang. “Benar, jika ada yang mengatakan kalau membuat jajanan rambut nenek perlu ketelatenan untuk mengetahui apakah adonan sudah pas atau belum,” terang Teguh. Meski membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi ia juga tetap mempertahankan kualitas dan cita rasa. Pasalnya, ia mengaku sempat memakai mesin, tetapi justru gagal dan adonan tidak jadi.
Disisi lain, kebangkitan jajanan rambut nenek juga berpotensi untuk meningkatkan perekonomian lokal. Banyak pedagang kecil maupun pebisnis yang merasakan peningkatan pendapatan berkat popularitas jajanan ini. Bahkan, digadang-gadang juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi lingkungan sekitar.
Contohnya, Teguh melibatkan warga lokal sebagai karyawannya, mulai dari proses produksi, pengemasan, hingga pendistribusian. “Daripada mengobrol di rumah, lebih baik kerja di sini,” ujarnya.
Arumanis rambut nenek berhasil membuktikan bahwa jajanan tradisional bisa tetap eksis dan bersaing di tengah gempuran makanan modern. Jadi, siapa bilang yang ‘jadul’ nggak bisa hits lagi? Bagi ParaMantra yang menyukai jajanan ini, komen yuk!