Tim PMM UMM Gelar Psikodrama guna Tingkatkan Kesadaran Diri

Tim PMM UMM berikan edukasi menarik melalui psikodrama yang dilakukan guna tunjukkan contoh nyata hingga dampak dari permasalahan yang ada.

Psikodrama pmm umm
Kelompok 45 geombang 7 PMM UMM berikan edukasi dengan metode psikodrama di Panti Asuhan Abdul Kadir Kurnia. (foto:ist)

Mantraidea.com – Penggunaan psikodrama dalam memberikan edukasi mengenai dampak teknologi, semakin relevan di era digital saat ini. Hal ini tak luput dari pandangan kelompok 45 gelombang 7 dalam program Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Dengan berfokus mengabdi di Panti Asuhan Abdul Kadir Kurnia, Kelurahan Mojolangu, Kota Malang, dari tanggal 18 Juli hingga 18 Agustus mendatang. 

Psikodrama adalah salah satu metode psikologi yang memainkan sebuah peran dengan alur cerita tertentu dalam suatu kelompok. Sejalan dengan hal tersebut, tujuan psikodrama berguna sebagai terapi atau penyembuhan untuk meningkatkan kesadaran diri.

Kelompok PMM UMM ini terdiri dari Muhammad Akmal Hafizh, Chandrika Kirani Bakari, Yusuf Wibisono, dan M. Qonis, serta dibimbing oleh dosen lapang Mahar Faiqurahman. Melalui psikodrama, mereka tidak hanya memberikan edukasi teknologi, tetapi juga mendukung hilirisasi penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.

Edukasi Inovatif melalui Psikodrama

Program psikodrama atau permainan peran dari kelompok 45 gelombang 7 PMM UMM, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pengurus panti yang melihat anak-anak asuhnya terpapar dampak negatif teknologi. Beberapa anak menunjukkan tanda-tanda kecanduan gadget seperti menurunnya aktivitas belajar dan pengaruh buruk dari lingkungan yang tidak mengontrol penggunaan teknologi dengan bijak. 

Salah satu anggota kelompok PMM UMM, Chandrika, mengatakan bahwa program permainan peran ini dirancang untuk memberikan manfaat edukatif yang langsung dirasakan oleh anak-anak panti. “Selain belajar tentang teknologi, anak-anak juga diajak untuk memainkan skenario-skenario yang mencerminkan situasi sehari-hari terkait penggunaan teknologi,” tambahnya. 

Kegiatan psikodrama yang diadakan di panti ini melibatkan anak-anak panti bersama dengan mahasiswa yang turut serta sebagai fasilitator. “Total ada delapan peserta yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok, dengan masing-masing kelompok terdiri dari tiga orang,” tambahnya. Sementara, dua orang lainnya bertugas sebagai juri yang memberikan feedback dan penilaian.

Permainan Peran di Panti

Menariknya, tema permainan peran ini dipilih secara acak menggunakan metode spin atau undian. Hal ini dilakukan untuk menantang kreativitas dan spontanitas peserta dalam memerankan setiap karakter yang telah didapat. 

Setelah tema drama ditentukan, setiap kelompok menerima naskah drama yang telah disesuaikan dengan tema tersebut. Pada sesi ini, tiap kelompok diberi waktu selama 60 menit untuk melakukan reading script, memahami alur cerita, dan mendalami peran masing-masing. “Selama proses ini, suasana terasa hidup dengan diskusi dan pertukaran ide yang aktif antar anggota kelompok,” sambung Chandrika. 

Permainan peran
Sebelum tampil, anggota kelompok psikodrama melakukan reading script guna pahami alur dan pendalaman karakter. (Foto:ist)

Ini dilanjutkan dengan penampilan psikodrama per kelompok. Dimana kelompok pertama mendapat tema drama tentang ‘Dampak Positif Teknologi dalam Mendukung Pembelajaran di Sekolah. Tiap anggota kelompok memerankan karakter yang berbeda. 

Mulai dari seorang siswa yang belajar dengan memanfaatkan teknologi untuk, guru yang membimbing dengan bantuan aplikasi pendidikan, serta orang tua yang mendukung penggunaan teknologi. Penampilan ini menunjukkan bahwa menggunakan teknologi secara bijak tentu sangat bermanfaat bagi pendidikan.

Sementara kelompok kedua, mendapat tema drama mengenai ‘Dampak Negatif Teknologi’, khususnya terkait dengan kecanduan game online dan cyberbullying. Drama ini menampilkan kisah seorang anak yang terisolasi dari teman-temannya karena terlalu sibuk bermain game online. Serta, adanya konflik yang muncul akibat cyberbullying dalam game online yang menciptakan perilaku toxic.

Menariknya, salah satu dari anggota tim tersebut membagikan pengalaman pribadinya yang ternyata mengalami hal serupa di dunia nyata. Tentu, pengakuan ini membuat anak-anak yang lain menjadi lebih paham akan makna dari kegiatan yang mereka lakukan.

Tim PMM kelompok 45 berharap bahwa kegiatan ini dapat menjadi awal dari perubahan yang lebih besar di lingkungan panti asuhan. Terlebih, semua orang bisa mengadaptasi dan menerapkan permainan peran di tempat lain yang menghadapi tantangan serupa terkait penggunaan teknologi di kalangan anak-anak. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *