Jalan Cerita Dalang Muda Aset Kota Malang

Dalang muda Kota Malang, Reza Bagas Setyo Anggoro, wujud generasi milenial melestarikan kebudayaan wayang. Sumber_ Dokumentasi Omahsemarmalang

Mantraidea.com- Dalang wayang dalam era milenial seperti ini sering dianggap kuno. Lazimnya, dalang selalu membawakan pertunjukan seni tradisional yang memikat nan memukau. Kepiawaiannya dalam memainkan alur cerita dan menggerakkan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggemarnya. Tidak hanya bakat itu saja, tetapi juga keahlian seorang dalang dalam menciptakan berbagai suara dan mendalami karakter yang dibawakannya. Sehingga, wayang yang dimainkan terkesan hidup. 

Aset Dalang Muda

Reza Bagas Setyo Anggoro, salah satu anak muda yang berinisiatif menekuni dan melestarikan pedalangan di Indonesia. Ia mengaku awalnya bergabung di salah satu sanggar. Tempatnya menggali informasi dan mempelajari apa itu dalang serta bagaimana cara menghidupkannya kembali. Berusaha memperbaiki stigma kuno di benak masyarakat. 

Sedari duduk di Sekolah Dasar, Reza sudah mulai menaruh harap pada bakat kesenian wayang dengan fokus belajar dalam karawitan pedalangan. Meniti ilmu dari Sanggar Paduka Nusa (Persatuan Dalang Karawitan Nunggal Rasa) di Kota Malang, tepatnya di Senaputra. Kemudian, ia terapkan dalam sanggar yang ia bentuk sendiri. Memilih mendirikan di tempat tinggalnya yang berlokasi di Lesanpuro gang 12, Kota Malang. 

Beberapa tahun berjalan, sanggar miliknya masih belum mempunyai nama tetap. Tahun 2017, Taruna Kridha Rasa, menjadi pilihannya. ‘Taruna’ mengartikan pemuda dan ‘Kridha’ artinya mengolah, bekerja, dan berkarya. Tujuan sanggar ini terbilang sederhana, yaitu ingin mengajak para pemuda yang mau belajar seni tradisional. Dengan bimbingan langsung oleh sesepuh dalang, sehingga harapan kedepannya para pemuda dapat meneruskan bakat dalang dari para sesepuh yang telah berjasa itu. 

Inspirasi dan kemauan itu kadang tak luput dari pengaruh lingkungan sekitar. Tahun 2023 ini, banyak yang beranggapan bahwa generasi muda dengan jiwa milenial mulai meninggalkan tradisi dan budaya. Kita sebut saja pertunjukan wayang sebagai contoh. Kebanyakan saat pementasan, penonton dan penggemarnya didominasi oleh kalangan orang paruh baya atau bahkan sesepuh. 

Terlepas dari keadaan tersebut, tahun 2020 Reza sempat menjadi Duta Budaya. Salah satu program kerjanya adalah meregenerasi budaya di era milenial ini. Dalam aksinya, Reza memilih menggunakan wayang keliling sebagai upaya memberikan contoh bagaimana melestarikan budaya.  Bersama dengan sepuluh orang. Diantaranya satu dalang, dua sinden, dan tujuh lainnya memegang alat musik. 

“Saya yang menghampiri penonton bukan penonton yang menghampiri saya,” jelas Reza. Dengan cara ini, ia yakin bahwa dapat menarik perhatian anak muda milenial agar datang untuk menonton. Meskipun lika-likunya tetap menjadi tantangan.

Menilik Kebutuhan Dalang

Dari banyaknya sanggar wayang yang ada di Kota Malang, Reza mengaku menerapkan konsep yang berbeda pada sanggar miliknya. Gaya Jawa Tengah dan Solo yang ingin ia tonjolkan, tetapi tetap tak meninggalkan sentuhan gaya Malang-an. Alasannya, dalang wayang gaya Malang-an kini mulai bergeser bahkan hampir pudar. 

Atas dasar itulah pengaplikasian konsep gaya Malang-an. Ambisi untuk melestarikan tumbuh dalam jiwa Reza. Iabahkan menjelaskan bahwa pembawaan dalang dengan gaya Solo dan Malang itu berbeda. Terlihat dari cara berdialog, bentuk wayang, ataupun iringan musik gendingnya.         

Menjadi dalang tentu tak mudah, juga tak murah. Sejatinya, dalang harus memiliki alat perlengkapan sendiri. Minimal satu set gamelan, satu peti wayang dengan jumlah 300 wayang, layar dan kendaraan. Namun, bukan berarti semua dalang harus mempunyainya. Bisa saja menyewa peralatan pedalangan. 

Saat ada ‘panggilan’ untuk pentas di suatu acara, biaya pertunjukan tentu berasal dari tuan rumah yang nantinya akan bagi rata oleh seluruh anggota. “Tapi, ada juga bantuan dari pihak pemerintah kabupaten atau kota untuk sanggar,” tambahnya. 

Menariknya, pementasan wayang dari Sanggar Taruna Khrida Rasa ini bukan hanya menerima gelaran dari orang luar, seperti hajatan, ataupun dari instansi pemerintah saja. Tapi, kadang juga membuat acara pribadi dengan sebutan Gepyak. Acara ini memeriahkan ulang tahun sanggar, ulang tahun anggota, bahkan pernikahan yang menyangkut orang internal dari sanggar.

Usaha Reza dalam melestarikan dan berkecimpung lebih dalam di dunia dalang muda tak pernah surut. Langkahnya, selalu teriringi rasa bangga. Lalu, apakah wayang akan tetap menjadi identitas sosoknya? Tentu, iya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *