Kampung Budaya Polowijen dan Sukarnya Lestarikan Budaya
Mantraidea.com- Kota Malang adalah kota terbesar kedua di Jawa Timur yang menyandang banyak sebutan nama. Kota Pendidikan, Kota Wisata, Kota Dingin, Kota Sejarah dan masih banyak lagi. Namun ternyata, Kota Malang juga menyimpan keberagaman seni dan budaya yang patut untuk diketahui.
Apalagi keberadaan seni dan budaya di Malang yang tak lepas dari cerita Panji. Cerita yang melibatkan tokoh utamanya Raden Inu Kertapati alias Raden Panji dari Kerajaan Jenggala dan Dewi Sekartaji atau Dewi Galuh Candra Kirana dari Kerajaan Kediri. Cerita ini bahkan telah menyebar luas hingga ke Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina. Kemudian, dikemas dalam satu seni dan dijaga keberadaannya hingga sekarang, yaitu seni Topeng Malang.
Pelestarian kebudayaan yang istimewa di Kota Malang menjadi upaya yang harus lebih difokuskan lagi. Meskipun, saat ini sudah banyak gerakan yang dilakukan untuk tetap melestarikannya. Positifnya, kegiatan itu telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Seperti pembuktian gerakan yang digaungkan oleh Kampung Budaya Polowijen.
Uri-uri Budaya
Seni dan budaya memang menjadi identitas tiap daerah di Indonesia, hanya saja bentuk pelestariannya yang berbeda. Seperti Kampung Budaya Polowijen, Blimbing, Kota Malang yang diresmikan pada 2 April 2017.
Salah satu usaha yang berhasil dilakukan setelah melalui beberapa kali sarasehan kebudayaan. Disisi lain, gerakan itu tumbuh alami karena melihat banyaknya antusias masyarakat Polowijen dalam melestarikan budaya. Kini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar maupun para pelancong yang singgah di Kota Malang.
Menilik cerita Kampung Budaya Polowijen ternyata adalah salah satu tempat yang membuktikan adanya Topeng Malang. Di sekitar kampung itu, terdapat makam milik Ki Condro Suwono (Mbah Reni) yang dulunya Empu Topeng Malangan. Tak jauh dari situ, ada juga situs budaya lainnya seperti sumur windu. Konon katanya, sumur itu menjadi petilasan permaisuri dari Ken Arok pendiri Kerajaan Singasari yaitu Ken Dedes.
Hal semacam itulah, yang mendasari berdirinya Kampung Budaya Polowijen. “Kampung ini merupakan salah satu cara uri-uri budaya Polowijen,” ujar Isa Wahyudi yang akrab disapa Ki Demang, selaku Penggagas Kampung Budaya Polowijen.
Sejak mendirikan Kampung ini, Ki Demang tentu tak sendirian. Ia melibatkan warga setempat untuk menyediakan beragam fasilitas agar pengunjung merasa nyaman. Seperti halnya, membuat kerajinan topeng dan gerabah, mengadakan seni pertunjukan, membatik, maupun menyediakan kuliner untuk para pengunjung.
Idenya itu, bukan semerta-merta untuk menguntungkan satu belah pihak saja. Tapi, juga dapat membantu membangkitkan ekonomi kreatif masyarakat yang ada di Kampung Budaya Polowijen. Salah satu warga yang terbantu dengan adanya gerakan ini adalah Gianto. Ia mengatakan kalau mendapat pemasukan dari pengunjung meskipun tidak banyak. “Kalau ada tamu, istri saya yang masak makanannya,” ucapnya.
Kemudahan Belajar
Kampung Budaya Polowijen tak hanya menghadirkan pajangan Topeng Malang saja. Tapi, juga menggelar acara yang bisa diikuti oleh masyarakat umum. Salah satunya adalah acara diskusi yang bertajuk ‘Sinau Budaya’, mengupas tuntas seputar budaya nusantara khususnya Kota Malang. “Acara rutin ini digelar tiap jumat malam dan sampai saat ini sudah berlangsung lebih dari 20 kali pertemuan,” jelas Ki Demang.
Kampung ini juga memberikan akses bagi para pelancong yang ingin belajar tari Topeng Malang. Ada Mbah Kari, penari Topeng Malangan yang sudah berpengalaman dan siap membagikan ilmunya tentang tari. Menelisik lebih jauh, seraya mencari informasi sejarah, pengalaman membuat Topeng Malangan dan melukis batik khas Malang, bisa dipelajari di kampung ini juga.
Langkah Yang Tak Mudah
Usaha melestarikan budaya tentu tak mudah. Tak heran jika kampung budaya ini memiliki ragam cerita disebaliknya. Ki Demang menceritakan bahwa masa kritis pandemi Covid-19 membawa dampak buruk bagi aktivitas dan agenda kampung tersebut.
Sebelum pandemi, banyak wisatawan yang hilir mudik berkunjung ke Kampung Budaya Polowijen. Terlebih, di kampung ini juga telah merangkai struktur dan jadwal event yang siap diselenggarakan tiap tahunnya. Ironisnya, pandemi membubarkan rencana yang telah tersusun itu.
Alih-alih terpuruk dalam situasi dan kondisi. Pasca pandemi, Ki Demang dan masyarakat setempat kembali mengaktifkan Kampung Budaya Polowijen. Seperti memulai baru lagi, keadaan itulah yang mereka rasakan. Mulai menyusun event yang lebih besar. “Kedepannya, kita punya rencana menggelar acara gebyar wayang topeng, kirab Topeng Malang, dan acara besar lainnya,” ujar Ki Demang seraya tersenyum penuh harap.
Mengingat untuk menyelenggarakan dan mengelola sebuah gerakan besar, tentu membutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang lebih. Mirisnya, SDM dan regenerasi seniman pada Kampung Budaya Polowijen bisa dibilang belum mencukupi.
Padahal, seniman di Polowijen memiliki harapan dan mimpi yang besar agar mereka bisa hidup dari seni. Sayangnya, hal itu masih belum tercukupi. Sehingga, upaya agar kampung budaya ini tetap berkelanjutan masih terus diusahakan. “Kampung Budaya Polowijen belum bisa menjamin pelaku seni bisa makan dari kesenian,” tambahnya.
Sejatinya, pelestarian budaya tidak dapat bergantung hanya pada pelaku seni saja. Dukungan dari unsur lain seperti pemerintah, akademisi, instansi swasta, dan komunitas sangat penting.. Tak ada batasan khusus dalam mendukungnya. “Pengembangan sebuah kebudayaan harus melibatkan pentahelix,” tutupnya. Peningkatan kesadaran, partisipasi aktif, dan promosi yang luas terhadap seni dan budaya juga sangat dibutuhkan oleh para pelaku seni.
Pada dasarnya, kesadaran akan kebudayaan itu pergerakan manusia yang juga menjadi panggilan untuk seluruh elemen masyarakat. Dengan bekerja sama dan mengambil peran aktif. Kita dapat mewujudkan masa depan yang lestari dan berbudaya, dimana seni dan budaya dapat terus eksis mengikuti perkembangan zaman.