Gunakan ‘Pinjol’ demi Rawat Gengsi

Pinjaman Online
Ilustrasi pinjaman online yang kini kian marak dipilih untuk membantu keuangan dan kebutuhan manusia. Sumber: Pinterest

Mantraidea.com – Kian dewasa semakin banyak kebutuhan yang harus dicukupi. Entah demi menunjang kehidupan, atau sekedar mencukupi keinginan. Begitu juga yang dirasakan Ryan (21) mahasiswa asal Universitas Negeri Malang, yang sudah fasih menggunakan ‘pinjol’ (pinjaman online) demi bisa mendapatkan barang incarannya.

Sementara itu, industri ‘pinjol’ di Indonesia berkembang secara cepat tanpa regulasi yang memadai. Hal ini memungkinkan munculnya banyak platform pinjaman online beroperasi tanpa izin yang jelas dan menawarkan suku bunga tinggi. 

Namun, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan regulasi untuk mengawasi dan mengatur industri ini. Seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengeluarkan Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 untuk melindungi konsumen dan menetapkan batasan suku bunga maksimum yang dapat diterapkan oleh ‘pinjol’.

Hal tersebut tentu membutuhkan riset mendalam, oleh para pengguna jasa ini.“ Harus hati-hati, soalnya kadang ada beberapa ‘pinjol’ yang ketentuannya masih kurang jelas,” ujar Ryan. 

Pinjol Legal vs Ilegal

Deputi Komisaris Hubungan Masyarakat dan Logistik sempat merilis, sejak kerjasamanya di tahun 2018 bersama kepolisian berhasil memblokir 3.516 situs ‘pinjol’ ilegal. Setidaknya hingga tahun 2023, pihak OJK resmi merilis 35 nama perusahaan ‘pinjol’. Peningkatan tersebut tidak diiringi dengan pemahaman masyarakat yang mumpuni. Antara ‘pinjol’ legal dan ilegal.

Padahal ciri-ciri kedua ‘pinjol’ tersebut, sangatlah mudah untuk diidentifikasi. Pihak OJK juga menyampaikan bahwa, ciri khas dari ‘pinjol’ legal dapat dilihat dari keterbukaan informasi dan memiliki kebijakan privasi. Kedua hal tersebut merupakan salah satu syarat yang dikeluarkan OJK. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawasan dalam sektor keuangan. Sumber: Pinterest

Ryan mengaku lebih nyaman menggunakan Shopee Pay Later, sebuah produk pinjaman legal yang menyediakan sistem cicilan yang  tersedia di Shopee. Selain praktis, SPayLater juga menyediakan tenor yang fleksibel. Tidak tanggung-tanggung, aplikasi ini menawarkan  jumlah batasan pinjaman maksimal hingga 50 juta.

Dalam pembelian barang seperti sepatu dan baju, Ryan menggunakan SPayLater dengan memilih tenor per tiga bulan. “Biasanya saya sudah ada persiapan, jadi belum pernah melewati tenggat waktu yang ditentukan,” ucap Ryan.

SPayLater sendiri merupakan produk yang disediakan oleh PT Commerce Finance, yang diawasi oleh OJK. Besaran bunga yang digunakan minimal 2,95 persen, untuk setiap pembelian produk dalam jangka waktu satu bulan. Artinya, jika Ryan memilih tempo cicilan hingga tiga bulan, ia wajib membayar bunga tersebut tiga kali lipat.

Selain itu, penerapan denda juga diberlakukan. Dalam kasus ketika seseorang tidak dapat memenuhi pembayaran dalam tenggat waktu yang telah ditentukan. Sebesar lima persen dari total tagihan harus dibayarkan dan denda tersebut akan terus bertambah jika belum terbayar.

Menurut Ryan, sistem pinjaman online sangat membantunya dalam membeli barang impiannya. Sekaligus menjadi solusi penghilang dahaga gengsi, sejak pertama kali mengenal sistem pinjaman ini. Namun, jika flashback ke belakang, sebenarnya apa yang menjadi tumpuan usai maraknya ‘pinjol’ di Indonesia?

Pergeseran Sosial Teknologi dan Keuangan di Indonesia

Latar belakang pinjaman online (pinjol) di Indonesia dapat ditelusuri dari perubahan sosial, teknologi, dan keuangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan teknologi digital dan luasnya penetrasi internet di Indonesia telah membuka peluang baru dalam sektor keuangan. Sayangnya, tidak diikuti dengan pengelolaan hingga pengawasan yang mumpuni. 

Menurut pendapat dari salah satu pakar hukum, yaitu Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa, “Kehadiran ‘pinjol’ menandakan hukum selalu tertinggal dibandingkan dengan sektor lain.” Sehingga, dibutuhkan regulasi yang dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul akibat pinjaman online.

Meskipun terjadi peningkatan dalam inklusi keuangan di Indonesia, masih ada sebagian besar penduduk yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal, seperti bank dan lembaga pembiayaan. Oleh sebab itu, ‘pinjol’ hadir sebagai solusi bagi individu atau usaha kecil yang kesulitan dalam memenuhi syarat kredit dari lembaga keuangan tradisional. Sama halnya, kejadian yang dialami Brian (21) ia mengaku bahwa penggunaan jasa ‘pinjol’ dapat meringankan beban keuangannya. “Mulai menggunakan jasa ini sejak tahun 2021, harus mempersiapkan uang untuk melunasi setiap cicilannya,” ujar Brian.

Masyarakat yang pendapatannya rendah atau tidak stabil dibarengi dengan banyaknya penduduk Indonesia, seringkali menghadapi kebutuhan mendesak. Merujuk pada hal itu, sekali lagi ‘pinjol’ menjadi pahlawan. Menawarkan sebuah kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh pinjaman tanpa jaminan. Tentu, hal itu menjadi opsi menggiurkan untuk menutup segala kekurangan dalam memenuhi keperluan darurat.

Indonesia memiliki populasi manusia yang besar dan pertumbuhan ekonominya cukup cepat. Dengan jumlah pengguna ponsel pintar yang signifikan, pasar pinjaman online di Indonesia memberi potensi pertumbuhan yang sangat menguntungkan bagi penyedia layanan ‘pinjol’.

Pinjaman online dapat dilakukan melalui ponsel tanpa harus menemui pemilik ‘pinjol’. Sumber: Pinterest

Disisi lain, ada juga kekhawatiran terkait suku bunga yang tinggi, praktik pemberian pinjaman yang agresif, dan risiko overindebtedness bagi konsumen. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa regulasi yang ketat diterapkan dan praktik yang bertanggung jawab dipraktikkan oleh penyedia layanan ‘pinjol’ di Indonesia.

Keberlangsungan Hukum Pinjaman Online

Lebih jauh, menilik pandangan dari Abdul Fickar Hajar, seorang pakar hukum pidana yang hadir sebagai bintang tamu dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne. Menurutnya, praktik pinjam meminjam melalui fintech pinjaman online masih berada dalam ranah hukum perdata dan hal tersebut terjadi karena kesepakatan dua pihak.

Ia juga menjelaskan, jika masalah tersebut masih di wilayah hukum perdata, pemerintah dan penegak hukum tidak memiliki kewenangan untuk memberikan bantuan. Namun, berbeda kalau terjadi teror atau intimidasi yang dilakukan oleh para debt collector. Maka, pemerintah dan penegak hukum dapat memberikan bantuan hukum. “Kalau masih perdata,harus diselesaikan oleh kedua belah pihak sendiri,” ujarnya.

Dalam sebuah konferensi pers, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, “Apabila seseorang menjadi korban fintech ilegal, jangan dibayar!” Sebagai lanjutan, ia juga menghimbau agar korban melaporkan tindakan intimidasi debt collector fintech ‘pinjol’ ilegal kepada kepolisian.

Pernyataan Fickar dan Mahfud menyoroti isu hukum yang muncul dalam praktik pinjaman online. Mengungkap kompleksitas dan tantangan ‘pinjol’ di Indonesia. Menjabarkan perlunya upaya lebih lanjut untuk mengatasi isu regulasi, perlindungan pelaku ‘pinjol’ dan penegakan hukum di industri yang berkembang ini. Sehingga, pemerintah dan penegak hukum perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah ini dan melindungi hak konsumen dalam ranah pinjaman online.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *