Tepis Isu Ragam Profesi Tergantikan AI
Mantraidea.com – Seiring dengan perkembangan Artificial Intelligence (AI), isu seputar dampaknya terhadap kepakaran dan beberapa profesi lainnya semakin mencuat. Kecerdasan buatan ini dianggap mampu mengancam pekerjaan yang selama ini dijalankan oleh manusia. Meskipun kehadirannya memberikan bantuan yang signifikan, pertanyaan yang muncul adalah apakah AI akan terus membantu? Atau bahkan menggantikan peran manusia secara keseluruhan?
Simpang Siur Ragam Profesi Tumbang
Isu mengenai banyaknya profesi akan runtuh telah menjadi kekhawatiran tersendiri yang tak terelakkan dalam dunia kerja. Kabar tersebut menjadi sumber perdebatan di kalangan praktisi, mempengaruhi siapapun yang tengah menjalani atau yang sedang bermimpi untuk menggeluti profesi.
Dilansir dari katadata.co.id, perkembangan pesat kecerdasan buatan memunculkan prediksi bahwa sejumlah profesi akan tergantikan oleh teknologi. Dalam hal ini, industri teknologi menjadi sorotan utama. Perkembangan yang cepat dan inovatif memungkinkan untuk mengubah lanskap pekerjaan secara fundamental.
Ironisnya, peran manusia dalam beberapa aspek pekerjaan dapat tergantikan oleh mesin dan algoritma yang mampu melakukan tugas-tugas dengan efisiensi dan akurasi tinggi. Dalam industri teknologi, otomatisasi dan robotika telah menggantikan sejumlah pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, seperti dalam manufaktur atau bahkan sektor layanan.
Namun, penting untuk mencatat bahwa kecerdasan buatan tidak bisa dipisahkan secara mutlak dari kemampuan otak manusia. Walaupun, AI mampu menyelesaikan tugas dengan efisiensi dan kecepatan yang luar biasa, masih ada aspek-aspek tertentu yang hanya mampu ditangani oleh manusia. Kemampuan kreativitas, pemecahan masalah kompleks, interaksi sosial, dan pengambilan keputusan berdasarkan konteks masih merupakan domain manusia yang sulit digantikan oleh teknologi.
Hadapi Perkembangan Teknologi
Selain perkembangan kecerdasan buatan, juga membuka peluang baru dan menciptakan profesi yang sebelumnya tidak ada. Munculnya bidang-bidang seperti ilmu data, keamanan siber, pengembangan AI, dan analisis besar data menjadi contoh bagaimana kecerdasan buatan membawa perubahan dan peluang baru di dunia kerja. Dibarengi dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang dilansir di tempo.co. “Indonesia membutuhkan sekitar 17,5 juta kerja yang memahami dan menguasai tentang teknologi,” ujarnya.
Dalam menghadapi perubahan ini, penting bagi individu untuk terus mengembangkan keterampilan yang bersifat manusiawi, seperti kreativitas, kolaborasi, pemikiran kritis, dan kepemimpinan. Adaptasi dan penyesuaian terhadap perubahan teknologi menjadi kunci untuk tetap relevan dan berdaya saing di pasar kerja yang terus berkembang.
Peran manusia dalam masalah ini adalah penting dalam memahami konteks, pengambilan keputusan yang kompleks, dan kreativitas yang sulit ditiru oleh AI. Kepakaran manusia dalam memahami nuansa dan interpretasi yang mendalam masih menjadi aset berharga yang tidak dapat digantikan oleh kecerdasan buatan. Meskipun, AI dapat membantu dalam menganalisis data dengan cepat, tetapi keputusan akhir dan implementasi pengetahuan masih membutuhkan kehadiran dan pemikiran manusia.
Kecerdasan buatan belum mampu sepenuhnya menggantikan kapasitas manusia dalam memahami konteks yang kompleks. Manusia memiliki kemampuan untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi emosi, dan menggunakan pengetahuan budaya dan sosial dalam memahami suatu situasi. Ini memberikan keunggulan dalam memecahkan masalah yang melibatkan aspek manusiawi dan hubungan interpersonal.
Pemanfaatan AI dalam Ranah Akademik
Isu mengenai potensi kepunahan kepakaran manusia akibat kemajuan kecerdasan buatan semakin diperkuat dengan perkembangan AI yang semakin kompleks dan dapat mempengaruhi pengguna secara luas. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan chatbot cerdas yang belakangan semakin populer. Meskipun chatbot tersebut memberikan kemudahan dalam mencari informasi dan jawaban, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan dosen dan akademisi.
Beberapa dosen mulai mencurigai dan menemukan bukti spesifikasi dalam penggunaan chatbot cerdas tersebut oleh mahasiswa. Teknologi AI seperti ChatGPT dapat memberikan gambaran kasar atau informasi umum, tapi tidak selalu dapat dijadikan patokan utama. Hal ini disampaikan dengan tegas oleh Fuad Nasvian, seorang Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Penggunaan teknologi harus dimanfaatkan dengan bijak dan sebaik mungkin. Meskipun AI, seperti ChatGPT, dapat memberikan informasi, penggunaannya harus disertai dengan pemahaman bahwa hasilnya masih memiliki keterbatasan. Dalam dunia pendidikan, penggunaan ChatGPT sebaiknya sebagai alat bantu untuk memperoleh gambaran kasar atau sebagai tambahan dalam proses pencarian informasi. Namun, keputusan akhir, interpretasi, dan pemecahan masalah yang kompleks tetap menjadi tanggung jawab manusia.
Meskipun kecerdasan buatan dapat menyediakan akses cepat terhadap informasi, peran dosen sebagai pembimbing dan penilaian tetap tidak dapat digantikan. Dosen memiliki pengetahuan mendalam, pengalaman, dan pemahaman yang lebih dalam terkait dengan materi pembelajaran. Mereka juga berperan dalam membimbing mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif.
Penting bagi pengguna AI, terutama mahasiswa, untuk mengenali batasan AI dan tidak mengandalkan sepenuhnya pada teknologi tersebut. Mereka perlu mengembangkan kemampuan kritis dalam memilah, memilih, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber, termasuk AI. Menggunakan kecerdasan buatan sebagai alat bantu yang bijaksana dapat membantu memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam.
Lantas Bagaimana dengan Hegemoni Akademik?
Secara harfiah, memang pengembangan AI terutama pada ChatGPT mengakibatkan ‘adu senjata’. Peperangan antara manusia dengan teknologi. Meskipun, AI dapat membantu dalam tugas-tugas tertentu. Seperti analisis data atau pengambilan keputusan, kehadiran pakar manusia tetap tidak tergantikan. Ada kompleksitas dan konteks tertentu yang hanya dapat dipahami dan ditangani oleh manusia yang memiliki pengalaman, wawasan, dan pengetahuan yang mendalam.
Kepakaran manusia juga penting dalam menghadapi tantangan yang berubah dengan cepat dan membutuhkan kreativitas serta pemecahan masalah yang kompleks. Kemampuan beradaptasi dan inovasi yang dimiliki oleh manusia tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh mesin. Meskipun, AI dan ChatGPT dapat membantu dalam memberikan informasi dan saran, manusia tetap memiliki peran yang tak tergantikan dalam memecahkan masalah dan menghasilkan solusi baru. Kepakaran manusia tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek yang tidak dapat diukur secara algoritmis, seperti intuisi, pengalaman, dan pemahaman yang mendalam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Nasrullah, seorang Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), “AI adalah keniscayaan yang sulit untuk ditolak. Tapi, bukan berarti AI akan mematikan sebuah kepakaran.” Pernyataan ini menekankan bahwa kehadiran kecerdasan buatan tidak menghancurkan kepakaran manusia, tetapi menjadi bagian yang saling melengkapi.
AI memang memberikan implikasi yang signifikan dan cenderung membuat individu bergantung. Namun, ini tidak berarti bahwa AI dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia dalam kehidupan nyata. Ia menambahkan, “Yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri agar tidak tergeser oleh kecerdasan buatan seperti ChatGPT. Manusia punya hati dan perasaan, sementara robot tidak.”
Secara keseluruhan, meskipun perkembangan dan kecerdasan buatan terus berkembang, kepakaran dan kompetensi manusia tetap diperlukan. Keahlian manusia dan teknologi dapat saling melengkapi dan bekerja sama untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam era yang semakin terhubung ini, manusia tetap menjadi pilar penting dalam mengelola dan mengarahkan perkembangan teknologi agar sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan manusia.