Lestarikan Budaya, Tari Gantar dan Enggang Asal Kalimantan

perform tari gantar
Penampilan kelompok tari Aprisa dan temannya yang membawakan tarian Gantar dan Enggang. MANTRAIDEA/Rendy Andhika Putra

Mantraidea.com – Berbincang kekayaan suku dan budaya di Indonesia memang tidak usah diragukan lagi. Perbedaan mencolok antar suku dan budaya menjadi bumbu persatuan yang tak ternilai harganya. Satu diantaranya ialah Suku Dayak.

Suku yang berasal dari Pulau Kalimantan ini tentu memiliki keunikannya sendiri. Tari Gantar dan Enggang menjadi salah satu yang menonjol. Dalam keunikannya, tarian tersebut memancarkan makna dan kegunaan yang tersirat.

Cerita menarik datang tatkala sorotan mengarah pada acara Piala Cisadane, seorang penari yang mencuri perhatian, yaitu Aprisa Saputri dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Meskipun banyak lomba menarik yang diadakan, ia lebih memilih untuk mengikuti perlombaan tari tradisional.

Pemaknaan Tari Gantar dan Enggang

Tari Gantar merepresentasikan sebagai seorang petani yang bersyukur atas limpahan hasil panennya. Dalam tarian ini, penari biasanya membawa tongkat yang diibaratkan sebagai padi disertai dengan gerakan menghentak ke tanah. “Konsep tarinya seperti orang menanam padi lalu dipadukan dengan gerakan memutar badan,” jelas Aprisa. 

Sedangkan tari Enggang merepresentasikan burung endemik asli Kalimantan, yakni Burung Enggang. Makna dari tarian ini sebagai penghormatan kepada leluhur dari Suku Dayak. Namun, kedua jenis tarian ini sering digunakan untuk menyambut tamu khusus yang berkunjung ke Kalimantan. 

“Kalau tari Enggang biasanya kita memakai aksesoris ditangan, menyerupai bulu dari Burung Enggang itu sendiri,” jelas Aprisa. Ia menjelaskan detail gerakan dalam tarian ini. Gerakan lemah gemulai layaknya Burung Enggang yang disajikan.

Sejatinya, tarian ini sangat bergantung pada kepiawaian si penari. Mulai dari gerakan yang harus lemah lembut hingga mimik wajah yang ceria. Hal inilah yang mendasari tarian ini banyak disajikan dalam acara penyambutan tamu khusus. Siratan makna senang dan keterbukaan atas kedatangan tamu terpancar disana.

Busana dan Musik yang Khas

Selain dari aksesoris bulu Enggang yang digunakan di tangan, ada ornamen pendukung lainnya yang tak kalah penting. Hal itu terletak pada baju yang dipakai si penari. Motif Burung Enggang turut mewarnainya. 

Kelompok tari tradisional Aprisa dan temannya dengan busana khas Suku Dayak Kalimantan. MANTRAIDEA/Rendy Andhika Putra

Warna dasar hitam pada bajunya dipadukan dengan corak berwarna emas. Dua warna kontras untuk membuat motif khas Suku Dayak terlihat begitu menonjol. Sebut saja ‘Batik Burung Enggang’ yang didapatkannya dari sebuah toko persewaan.

“Kami juga menyewa baju dan aksesoris lainnya,” pungkas Aprisa. Langkah ini ia pilih karena harga kain asli yang diproduksi oleh Suku Dayak terbilang mahal. Maka dari itu, menyewa jadi solusinya.

Biasanya, aksesoris asli yang diproduksi oleh Suku Dayak bersumber dari flora maupun fauna. Seperti gelang dan anting-anting dengan ornamen taring yang menghiasinya. Tentunya taring tersebut merupakan taring asli, biasanya diambil dari babi untuk mempercantik kalung dan anting. Disamping penjelasannya, Aprisa juga mengungkapkan, “Kalau aksesoris yang kami sewa ini hanya replika dari plastik.”

Dalam membawakan tari tersebut, terdapat musik yang khas dari Suku Dayak pula. Alunan dari alat musik gong, gening, kelentangen, sape disusun sedemikian rupa sehingga membentuk ritme yang digunakan untuk mengiringi tarian.

Ajang Pelestarian dan Pengenalan Budaya

Lomba yang diselenggarakan oleh HIMATA menjadi ajang untuk saling memperkenalkan budaya dari satu daerah ke daerah lainnya. HIMATA mengharapkan, kedepannya akan muncul generasi penerus bangsa yang peduli akan budaya asalnya.

“Karena aku asli putri daerah Kalimantan Timur dan temen kelompok tari aku juga emang asli putri daerah, maka kami berniat untuk membawa tari Gantar dan Enggang sebagai wujud kepedulian kami terhadap budaya asal,” tandasnya. Harapannya agar orang dari daerah lain dapat tertarik, bahkan mencoba tarian khas Suku Dayak ini. 

Dalam kompetisi bertajuk ‘Piala Cisadane’ tersebut, Aprisa dan teman-temannya berhasil menjadi juara kedua kategori tari tradisional. “Pastinya senang dan terharu, akhirnya usaha serta latihan membawa dampak positif. Kedepannya, bakal ikut kompetisi-kompetisi lainnya,” ungkapnya. Tentunya masih dalam misi melestarikan budaya Kalimantan yang ia bawa.

Kelompok tari tradisional Aprisa dan temannya dengan busana khas Suku Dayak Kalimantan. MANTRAIDEA/Rendy Andhika Putra

Sebagai generasi penerus bangsa, sudah seharusnya membuka mata dan peduli atas budaya yang telah ada. Turut andil dalam melestarikan budaya dalam bentuk apapun adalah tugas masyarakat Nusantara. Sehingga, di masa depan budaya khas Indonesia masih dapat dirasakan oleh generasi selanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *