Keroncong di Era Modern, Bagaimana Kabarnya?

Karya baru, hasil kolaborasi pertama yang dilakukan Monies Keroncong Boskarasta dengan sanggar tari Kota Batu. Sumber: Dokumentasi Monies Keroncong.

Mantraidea.com – Suatu gagasan ternyata bisa datang dari mana saja. Dari hal kecil yang kerap dianggap ‘sepele’ atau hal besar yang nyata. Seperti yang dilakukan Azarya Christian Arswenda, laki-laki 19 tahun yang memiliki ketertarikan dengan musik keroncong. Idenya muncul ketika melihat seorang musisi keroncong bermain dengan indahnya di pelataran salah satu pusat perbelanjaan Kota Batu.

Gagasan Azar

Seiring perkembangan zaman, warisan budaya bangsa juga ikut mengalami pergeseran. Mulai dari kebiasaan, bahasa, kesenian, bahkan genre musik asli Indonesia yang telah lama berkembang kini perlahan luntur. Keroncong salah satunya, dengan ukulele sebagai ciri khas mampu membuat musik ini terdengar unik.

“Musiknya enak, alatnya juga unik-unik,” ucap Azar ketika ditanya apa yang membuat dirinya tertarik dengan musik keroncong. Ketertarikannya semakin besar ketika dirinya menyaksikan seorang musisi jalanan. Kala itu, ketika Azar mendengar lantunan nada indah yang dimainkan pria paruh baya, pada pintu masuk plaza di Kota Batu.

Dari sana sebuah gagasan untuk mendirikan band keroncongnya sendiri muncul. Azar yang saat itu duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama mengajak tiga kawan lainnya. Nicolas Patrick salah satunya, teman yang sejak lama ia kenal. Mereka berjalan ditemani alat seadanya. Hanya iringan kentrung dan gitar.

Setelah menginjak masa Sekolah Menengah Atas, Azar menambah personalianya. “Aku ajak temen kelas, karena lihat mereka bisa main alat musik,” jelasnya. Tujuh anak dengan selera yang sama akhirnya menjadi satu. Perjuangannya mendalami musik keroncong patut diacungi jempol.

“Kami mendapat fasilitas dari Pak Hargo,” kini Nico bersuara. Alat musik yang lebih beragam hingga pembelajaran mengenai dasar musik keroncong mereka dapatkan dari Hargo. Orang yang pernah terjun di dunia keroncong sebelumnya. Menurut ceritanya, alih-alih merasa direpotkan, justru Hargo merasa senang ada regenerasi dari anak muda di keroncong.

Dari sana mereka tahu pembeda keroncong dahulu dengan keroncong yang saat ini berkembang. “Paling menonjol di komposisi musiknya si,” ucap Nico. Ia menjelaskan, awalnya keroncong menggunakan alat musik murni, sedangkan tambahan drum dan keyboard menjadi inovasi keroncong saat ini. “Dulu lagunya bikin ngantuk karena pakai ketukan yang lambat, sekarang bisa lebih menarik,” imbuhnya.

Terhitung sejak tahun 2019, Monies Keroncong telah resmi berdiri. Mereka mengartikannya ‘mouda’ dan ‘manies’. Digabungkan menjadi nama yang unik dan khas. Dalam hal ini, Azar menggandeng Nico sebagai founder-nya.

Monies Keroncong Boskarasta, salah satu band keroncong asal Kota Batu yang berinovasi di era modern. Sumber: Dokumentasi Monies Keroncong

Cerita Monies Keroncong 

“Awal 2020 kami mulai aktif mencari job, tapi sempat vakum karena pandemi,” Nico menjelaskan kondisi mereka saat itu. Mendekati pertengahan tahun, mereka kembali aktif. Bertepatan dengan program pencarian grup musik tingkat SMA/SMK, mereka berhasil bernaung di sebuah lembaga. Among Tani Foundation (ATF) yang mereka manfaatkan untuk mencari relasi, job, hingga fasilitas yang memenuhi standar.

COVID-19 gelombang dua menerjang seluruh penjuru dunia. Hal ini membuat mereka kembali vakum dan kerja sama dengan ATF tak lagi berjalan. Pergantian kepengurusan menjadi faktornya, terlebih tidak ada hitam diatas putih antara keduanya.

Setelah kondisi membaik, mereka bangkit dengan langkah besar. Berhasil tampil di saluran televisi skala nasional. HIngga mempertemukan mereka dengan seorang seniman alat musik etnik. Mereka menyebutnya ‘Om Ayom’ yang akhirnya memanajeri mereka. Alasannya sama seperti Hargo, tertarik dengan anak muda yang mempelajari keroncong.

Kala itu, alat musik yang digunakan masih dipinjami oleh Hargo. Namun, ada sedikit perbedaan yang terjadi setelah Ayom menjadi manajer mereka. Konsep penggabungan tiga genre musik ia lakukan. “Ada bossas, ska, dan reggae,” imbuhnya. Dari sinilah, penambahan nama dilakukan, Monies Keroncong Boskarasta. Dimana ‘Boskarasta’ terinspirasi dari tiga genre tersebut.

Sempat membuat mereka kelimpungan saat beradaptasi. Bukan hanya soal konsep, adanya manajer juga memerlukan waktu untuk membiasakannya. “Meskipun lebih tertata, tapi kondisinya lagi riweh,” imbuhnya. Terlebih saat itu bebarengan dengan kelulusan sekolahnya.

Sejak itu, panggilan untuk tampil di beberapa wedding dan event pun berdatangan silih berganti. Ada satu cerita unik, ternyata Monies Keroncong Boskarasta ini pernah kolaborasi dengan salah satu sanggar tari di Kota Batu. Tari Sembur Geni, dengan ciri khas semburan api dipadukan dengan gemuruh keroncong. Siapa yang tak terbuai dengan karya dan inovasi satu ini. 

Perjalanan panjang mereka membuahkan hasil. Tepat pada tahun 2021 lalu, dengan jerih payah yang mereka lakukan alat musik mulai terbeli. “Nyari yang umurnya tua karena suaranya lebih enak,” ucap Azar. Hal ini ia ungkapkan ketika ditanya alasannya membeli alat musik second. “Tapi kayaknya ketuaan,” guraunya menjelaskan kondisi cello, salah satu alat musiknya yang cukup tragis.

Unik bikin Menarik

Hal mencolok yang membuat Monies Keroncong Boskarasta berbeda dengan grup band lainnya adalah konsep yang lebih tertata. Gagasan yang datang dari Ayom, manajernya. Gabungan tiga genre musik ternyata melekat di masyarakat. Hingga saat ini, meskipun Ayom bukan lagi menjadi manajer mereka, konsep itu masih mereka gunakan.

“Karena kami bawain genre bossas, jadi kami pakai bongo,” ucap Azar menjelaskan salah satu keunikan mereka. Diceritakannya, bahwa bongo merupakan alat musik penunjang pada genre bossas. Terdiri dari gendang kecil dan besar yang penggunaannya dipukul.

Menariknya, ada satu lagu yang selalu mereka bawakan saat perform. Lagu ‘Mari Bersuka Ria’ ciptaan Ir. Soekarno yang mereka pilih. Menjadi pembuka di setiap penampilan mereka. Alasannya sederhana, makna lagu itu yang menjadi pertimbangan mereka. Mengajak penonton untuk tetap menikmati alunan nada yang melenggang di tiap musiknya.

Keunikan lainnya berasal dari alat musik yang mereka gunakan. “Walaupun alat musiknya sama, suara yang dihasilkan berbeda,” imbuhnya. Seperti alat musik cak dan cuk. Untuk menciptakan suara unik yang mereka inginkan, tentu ada eksperimen yang mereka lakukan. 

Percobaan dengan hanya menggunakan dua senar yang secara umum sebenarnya cak terdiri dari empat senar. Setelah suara yang mereka inginkan berhasil didapatkan, mereka kembali menggunakan empat senar itu. Namun, dengan suara yang sama. 

Pesan Mereka

Dari masa pandemi yang membuat mereka vakum, ternyata ada hal lain yang membuat mereka cukup sulit. Setelah bebas dari kehidupan sekolah menengah, mereka disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Sebagian bekerja dan sisanya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Upaya mereka untuk mempertahankannya ialah dengan menyajikan konten. Cover sebuah lagu yang diunggah di akun sosial media mereka. Serta, di akun pribadi setiap personalianya saat perform guna membangun branding.

Tak ada hal lain yang lebih indah selain feedback yang diberikan penonton. Tepuk tangan, sorotan kamera HP, bahkan ditonton dengan penuh senyuman saja mereka pun merasa bangga. Yap! Bangga telah menampilkan karya yang kerap disebut ‘lawas’ oleh sebagian orang.

Nico dan Azar, menjadi pemuda yang membawa inovasi dari karya ‘lawas’ itu. Berharap agar komunitas keroncong di sekitar mereka juga terus melakukan inovasi baik aksi panggung maupun aransemennya. Juga, memperkuat karakter yang telah Monies Keroncong bangun, terutama dari segi musik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *