MMI Malang, Saksi Perjalanan Dunia Musik Indonesia
Mantraidea.com – Di Sekitar Jalan Nusakambangan Kota Malang, terdapat Gedung Kesenian Gajayana. Berdasarkan standarisasi museum oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2019, lantai dua gedung ini terdapat Museum tipe B. Museum itu adalah Museum Musik Indonesia (MMI) yang letaknya di Kecamatan Klojen Kota Malang, satu-satunya museum musik di Indonesia.
Rintisan Museum Musik Indonesia
Ratna Sakti Wulandari selaku Kepala Museum Musik Indonesia bercerita, sejarah museum ini sangatlah panjang. Berawal dari Galeri Malang Bernyanyi (GMB). Dimotori oleh Pongki, Hengki, Ateng Wibi, Tutik dan Tutuk dari Komunitas Pecinta Kajoetangan. Nama GMB muncul saat enam orang tersebut berkumpul pada tanggal 8 Agustus 2009. Yaitu saat mereka ingin membuat sebuah acara konser musik.
Garasi rumah yang berukuran 3×5 di Jalan Citarum No.17, Kota Malang menjadi saksi. Koleksi majalah, kaset lawas, piringan hitam, koran dan masih banyak lagi. Berjalannya waktu, koleksi musik makin bertambah. Hingga membuat sesak ruangan.
“Dulu lokasinya di rumah orangtua Pak Hengki. Merasa ruangannya udah nggak cukup, kemudian 1 Januari 2013 baru kita pindah,” ujar Ratna. Mereka sepakat untuk memindahkan semua koleksi ke Perumahan Griya Shanta, Malang.
Tak sangka, dalam satu tahun pengunjung museum mencapai 1.548 orang. Bulan pertama, dominasi pengunjung adalah wartawan media cetak maupun media elektronik besar di Indonesia. Hingga bulan berikutnya banyak kalangan masyarakat yang silih berganti mendatangi museum ini. Kerennya, para musisi besar Indonesia juga pernah singgah di MMI. “Anang dan Ashanty, White Shoes And The Couple Company, dan Burgerkill pernah berkunjung kesini,” tuturnya.
Galeri Malang Bernyanyi melakukan relokasi kembali pada 2016 ke Gedung Kesenian Gajayana, pemberian oleh Pemkot Malang. Kemudian, anggota GMB itu membuat rencana untuk melakukan pergantian nama yang lebih luas lagi. Muncullah ide Museum Musik Indonesia.
“Dulu itu ada yang sudah punya nama Museum Musik Indonesia, namun orang tersebut hanya memiliki hak atas namanya saja, belum punya gedung. Akhirnya nama itu untuk kami,” jelasnya.
Tahun 2016, adalah tahun yang sangat berkesan bagi Museum Musik Indonesia. Tepatnya saat mendapat kunjungan dari Triawan Munaf yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Ekonomi Kreatif. Relokasi ke Gedung Kesenian Gajayana. Puncaknya pada 19 November 2016, Museum Musik Indonesia diakui dan diresmikan oleh Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia bersama Pemerintah Kota Malang.
Koleksi Museum Musik Indonesia
Tak lepas dari cerita Museum Musik Indonesia, Hengki Herwanto, salah satu pendiri MMI. Menuturkan bahwa barang yang ada di dalam museum tersebut tidak sepenuhnya berasal dari hasil koleksi milik anggota GMB saja. Koleksi tersebut berasal dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, bahkan ada juga yang dari mancanegara.
Sumbangan pertama merupakan dua buah kaset album Gombloh yang meraka dapatkan dari rekannya. Kemudian masuk 253 buah koleksi dari Komunitas Pecinta Kajoetangan. Piringan hitam, kaset, CD/DVD, alat musik, majalah, bahkan juga kostum dari penyanyi terkenal.
“Banyak masyarakat yang secara sukarela menyumbangkan koleksinya ke MMI. Dan sampai sekarang koleksinya mencapai lebih dari 45.000,” terangnya.
Ia juga menceritakan, di Museum Musik Indonesia ini ada beberapa koleksi unggulan. Mulai dari piringan hitam ‘Indonesia Raja’ produksi Lokananta, Tape Reel, Kaset Chica Koeswoyo, Sapek Kalimantan, Baju Dara Puspita, dan Piringan Hitam Grup Dara Puspita ‘Jang Pertama’ produksi Mesra Record.
Tak luput dari band rock pertama di Indonesia dengan semua personilnya perempuan. Yap! Dara Puspita, koleksi piringan hitamnya menjadi salah satu koleksi unggulan di MMI. Terlebih, lagu dengan judul ‘Surabaya’ dan ‘Burung Kaka Tua’, tidak asing di telinga masyarakat Indonesia.
Berprofesi sebagai rocker perempuan di masa itu, adalah hal yang sulit. Pandangan tabu dan menjadi hal yang tidak umum bagi sebagian masyarakat Indonesia. “Tapi, nggak bisa dipungkiri penggemar dari Dara Puspita itu banyak. Lagu-lagunya juga enak didengar” tambahnya.
Hengki menambahkan, untuk memudahkan pengunjung mencari koleksi dari para musisi, pengelola sudah menyusun rak penyimpanan menyesuaikan daerah asal para musisi-musisi tersebut.
Hengki menambahkan, pihak pengelola museum telah menyediakan banyak rak penyimpanan. Beragam koleksi tersebut tersusun rapi sesuai kategori dan berdasarkan asal daerah musisinya. Hal itu dilakukan guna memudahkan pengunjung untuk mencari koleksi tiap-tiap musisi yang diinginkannya.
Perawatan Rutin Koleksi Fisik Musisi
Anang Maret Tri Basuk, salah satu pengelola di Museum Musik Indonesia. Ia menceritakan bahwa seluruh piringan hitam, kaset, dan CD disini masih bisa diputar. Pengunjung museum juga mendapatkan experience memutar berbagai koleksi dari musisi-musisi dengan bantuan pengelola museum.
Piringan hitam yang masih normal perawatannya cukup di lap dengan kain halus. Sedangkan untuk perbaikan piringan hitam, tergantung kerusakannya. “Perawatan piringan hitam cukup di lap saja, kalau kaset bisa dengan diputar setiap hari lalu simpan di tempat yang layak agar tidak lembab” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa suhu ruangan sangat mempengaruhi umur tiap alat musik. “Untuk saat ini perawatannya cukup kita lap dan bersihkan saja,” tutupnya. Hal tersebut ia sampaikan untuk menjelaskan bahwa saat ini perawatan alat musik di Museum Musik Indonesia mengalami keterbatasan.