Kesenian Ludruk, Teater Tradisional Jawa Timur yang Sarat Makna Kehidupan
Kesenian ludruk yang populer utamanya di Jawa Timur, memiliki ciri khas khusus yang jarang dimiliki oleh teater tradisional lainnya.
Mantraidea.com – Sebagai warga Jawa timur, tentu nggak asing dengan kesenian ludruk, apalagi pas bulan Agustus. Teater tradisional ini hampir tiap minggu tampil di beberapa daerah Jawa Timur, khususnya Surabaya, Malang, Mojokerto, dan Jombang.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kesenian ludruk adalah bentuk teater tradisional yang dipentaskan oleh grup kesenian di atas panggung. Uniknya, selain menyuguhkan cerita serius, seni ludruk juga diselingi humor dan dialog-dialog lucu yang menggunakan bahasa khas Surabaya.
Dalam setiap pertunjukan, penonton disuguhi lawakan segar yang ditampilkan melalui monolog atau dialog antar pemain. Bahasa yang lugas dan mudah dipahami membuat ludruk nggak hanya menghibur, tetapi juga dekat dengan keseharian masyarakat.
Musik gamelan selalu menjadi pengiring utama dalam pertunjukan ludruk, menciptakan suasana khas tradisional yang kian memperkuat karakter budaya lokal. Biasanya, pementasan ludruk diawali dengan Tari Remo atau Beskalan Putri.
Namun, di daerah Malang, kesenian ludruk seringkali dimulai dengan parikan, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pantun. Parikan ini biasanya menyampaikan pesan tentang isu-isu sosial terkini, menyesuaikan dengan tema pertunjukan yang akan dibawakan.
Sejarah Perkembangan Seni Ludruk
Ludruk bukanlah seni yang baru muncul, melainkan telah ada sejak era Majapahit pada abad ke-12 Masehi. Kala itu, ludruk dikenal dengan nama ‘Ludruk Bandhan’ yang lebih menonjolkan pertunjukan kekuatan fisik dan ilmu kanuragan. Pertunjukannya diiringi alat musik kendang dan jidor, serta dilakukan di ruang terbuka.
Pada tahun 1907, seni pertunjukan ini mengalami perkembangan besar di Jombang, melalui sosok ‘Pak Santik’. Ia dikenal sebagai tokoh yang memperbarui ludruk dengan menyisipkan unsur humor, termasuk memerankan karakter perempuan menggunakan ikat kepala dan bertelanjang dada dalam aksinya. Pak Santik juga sering menceritakan perasaannya sambil memetik alat musik lerok, yang kemudian menjadi salah satu ciri khas ludruk masa itu.
Perkembangan berikutnya terjadi pada era penjajahan Jepang, ketika Cak Durasim, salah satu tokoh legendaris ludruk memperkenalkan bentuk baru kesenian ini di Surabaya. Kemudian, kesenian ludruk tidak hanya menjadi hiburan rakyat, tetapi juga media penyampaian kritik sosial. Pentasnya di Genteng Kali, Surabaya, semakin mengukuhkan seni ini sebagai bagian dari budaya masyarakat Jawa Timur.
Ciri Khas Kesenian Ludruk
- Cerita kehidupan sehari-hari: Lakon yang dipentaskan selalu mengangkat kehidupan rakyat sehari-hari dengan tema yang sederhana, tapi sarat makna.
- Iringan gamelan: Pertunjukan diiringi oleh musik gamelan dengan lagu-lagu tradisional. Mulai dari ‘Jula-juli’, ‘Walang Kekek’, dan ‘Ayak Samera’, yang populer di kalangan masyarakat bawah, baik di desa maupun di perkotaan.
- Tata busana sederhana: Kostum para pemain, terutama pelawak, menggambarkan kehidupan masyarakat yang sederhana. Sebagai buktinya, pelawak sering memerankan karakter pembantu rumah tangga.
- Kidungan berisi sindiran sosial: Pantun atau syair yang dibawakan oleh para pemain seringkali mengandung sindiran atau kritik sosial, sesuai dengan tema cerita.
- Dialog improvisasi: Dialog pemain dilakukan secara improvisatoris, tanpa naskah yang harus dihafalkan. Sehingga, memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara pemain dan penonton.
- Interaksi dengan penonton: Dalam beberapa pertunjukan, biasanya melibatkan penonton. Misalnya, dengan melemparkan rokok kepada pemain atau meminta mereka untuk membawakan lagu-lagu tertentu, agar suasana lebih hidup.
ParaMantra masih suka nonton kesenian ludruk? Share dong betapa serunya seni ludruk itu. Tim Mantra tunggu ceritamu di kolom komentar ya!
Referensi: Ludruk – Warisan Budaya Takbenda