Opini: Jadi Konten Kreator Digital, Nggak Cuma Modal Tampang!

konten kreator digital
Sering diremehkan, padahal konten kreator digital memiliki tanggung jawab untuk memengaruhi asumsi para audiens. MANTRAIDEA/Wahyu Orazah

Mantraidea.com –  Pesatnya perkembangan sosial media telah mengangkat profesi konten kreator digital sebagai incaran bagi banyak individu. Sehingga, membuka peluang baru di ranah profesi digital dan memperkuat posisi konten kreator sebagai salah satu pilihan karir yang menarik.

Namun, seiring menjamurnya profesi tersebut ternyata memunculkan persepsi liar di luar sana. Menganggap perihal konten kreator yang hanya modal tampang dengan standar kualitas kamera Iphone keluaran terbaru. Sayangnya, masih banyak yang belum memahami proses kreatif di balik profesi digital ini. Beberapa pendapat negatif itu muncul dipengaruhi oleh banyaknya konten yang dianggap ‘kurang daging’ di sosial media.

Nggak adil rasanya, jika menilai konten kreator digital secara menyeluruh berdasarkan algoritma di sosial media saja. Sebenarnya, ada kok konten kreator digital yang berkarakter dan berusaha konsisten untuk memberikan konten yang bermanfaat. Tapi, mungkin jadi tenggelam karena kuantitasnya kurang banyak dibandingkan yang lain.

Apa Itu Konten Kreator?

Sederhananya, konten kreator adalah seseorang yang merancang dan menciptakan berbagai konten kreatif yang responsif terhadap konteks saat ini. Informasi yang dihasilkan sangat bervariasi, mulai dari edukatif, menginspirasi hingga menghibur. 

Menurut salah satu artikel LSPR (London School Public Relation), tugas konten kreator meliputi riset konten, menulis naskah, mengambil dan mengedit gambar atau video. Bahkan, bisa aja ikutan nimbrung buat interaksi dengan audiens.

Berarti, skills yang dimiliki harus banyak dong? Kalau dilihat dari tugasnya sih, iya. Selain buat nambah pengetahuan soal bidangnya, beberapa keterampilan ini juga bisa menghemat anggaran untuk menyewa kebutuhan penunjang konten. Gampangnya, konten kreator digital itu dinilai berdasarkan proses kreativitasnya dalam membuat sebuah konten. Toh kalau benar-benar ikut terlibat dalam menyusun konten, output-nya juga bakalan menarik dan terkontrol.

Nah, unsur tersebut juga jadi salah satu pembeda antara influencer dan konten kreator digital. Kalau mengenal sosok konten kreator di sosial media, pasti ingat juga ciri khas dari konten-kontennya. Sedangkan influencer, lebih mengarah ke personal branding seseorang yang memiliki pengaruh kuat di platform media sosial tertentu.

hafalan shalat delisa
Wanda Hara, fashion stylist yang kerap menata pakaian para artis Tanah Air. Sumber: Instagram @wanda_haraa

Sayangnya, hal tersebut masih terlihat cukup kabur di mata masyarakat awam. Banyak yang menyamakan dua profesi tersebut. Nggak sedikit juga yang self-claim atau mengaku sebagai konten kreator digital yang ternyata sama sekali tidak terlibat dalam proses kreatifnya.

Perkembangan Konten Kreator Digital di Indonesia

Kalau ngomongin soal industri digital, segala aspeknya pasti meningkat di tiap tahunnya. Apalagi, pelaku industri konten kreator digital yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dari data yang disampaikan oleh penyedia platform influencer marketing, Famous All Star (FAS), dalam wawancaranya di Katadata.co pada tahun 2022. Menurutnya, lonjakan pasar industri konten kreator digital telah mencapai Rp7 triliun dan diperkirakan naik hingga lima kali lipat sampai tahun 2027.

Hal itu disebabkan oleh pertumbuhan internet dan jumlah sosial media yang semakin pesat di Indonesia. Kalau flashback dikit, maraknya konten kreator digital dimulai dari platform Youtube. Meskipun, saat ini tidak masif seperti dulu. Menurut data digital dari Hootsuite 2024, Youtube masih jadi top rank sebagai platform website yang banyak dikunjungi masyarakat Indonesia, setelah Google.

Menariknya, Youtube cukup konsisten sebagai wadah perputaran ekonomi kreatif digital, terutama dengan penggunaan sistem adsense. Banyak brand yang memilih Youtube untuk melancarkan proses campaign marketing-nya lewat iklan. Oleh karena itu, peran konten kreator dalam mempromosikan produk hasil kolaborasi dengan brand jadi sangat krusial.

Menarik Untuk Dibaca: Podcast Kreatif Indonesia, Eksplorasi Rekam Suara

dilan 1990
Dilan 1990 jadi sebuah tumpuan awal dari banyaknya sekuel kisah romansa karya karangan Pidi Baiq. Sumber: Falcon Picture

Modal Tampang Aja Nggak Cukup

Berawal dari Youtube, kemudian migrasi ke era konten kreator Instagram, lalu muncul banyak tren platform di sosmed. Rasanya bisa melihat langsung bahwa tanpa karakter unik dengan proses kreatif yang matang, konten kreator digital nggak akan bisa bertahan. Terlebih, di industri digital yang mengandalkan popularitas ini.

Menurut Agung Hapsah dalam Youtube-nya yang berjudul ‘Cara Menjadi Konten Kreator’, “Bikin konten mah gampang, yang susah adalah membuat audiens mengingat baik konten kita”. Ini bahkan bisa jadi poin penting, kalau konten yang menarik audiens justru berdampak bagi kelangsungan karir konten kreator.

Ironisnya, ParaMantra pasti sering menemukan wajah-wajah baru di sosmed yang hanya ‘modal tampang’. Lalu, membuat konten dengan ‘embel-embel’ mengejar traffic tren. Fenomena ini diperparah dengan kemudahan mengunggah konten di internet dan seringkali individu meremehkan jejak digital. Asal merekam dan bikin konten konyol yang merugikan orang lain. Yah ‘you named it lah’, pasti ada aja yang blunder dan viral karena konten kontroversialnya di sosial media. Bahkan, sampai masuk ke ranah hukum. 

Artinya, ‘berani tampil aja nggak cukup loh!’ Jika sebuah konten sudah diunggah dan dikonsumsi oleh banyak orang, ini berarti informasi tersebut di luar kendali kreator. Seharusnya sih, ada dong proses memilah konten yang akan diunggah.

Sudah jadi hal umum bahwa terdapat cara membuat konten yang menarik sebelum benar-benar diunggah di akun medsos. Mulai dari brainstorming ide, riset, menyusun content plan hingga evaluasi konten. Kalau memang ada proses tersebut, output konten yang dihasilkan juga nggak akan terlihat ngasal. 

Hal ini senada dengan jasa pembuat konten ala selebgram yang mengandalkan angka pengikut lewat konten social media. Mereka juga pasti melewati proses riset sebelum mempromosikan sebuah produk dari brand. Yah, meskipun masih banyak yang nerima asal ada duitnya aja. 

NKTCHI
Film yang diangkat dari sebuah buku ’NKCTHI’ menceritakan pengalaman realistis dan sering terjadi di sebuah keluarga. Sumber: NKTCHI Official.

Antara Popularitas dan Kebutuhan Kreativitas

Menurutku, nggak semua orang bisa jadi konten kreator digital. Apalagi, kalau individu malas buat nyari tahu dan belajar. Dalam industri kreatif, prosesnya seringkali serupa untuk bisa berpikir kreatif, memperbanyak referensi, kritis, peka, dan konsisten dalam melakukan sesuatu. 

Tapi kalau prosesnya hanya sebatas meniru konten orang lain dan berpikir jangka pendek, mending konten itu di privat ke akun sendiri aja deh hehe. Sebab, masih banyak orang yang memperdulikan tontonannya. Kalau kualitasnya kurang, yah good bye.

Stop buat beranggapan ‘jadi konten kreator digital itu gampang’. Kreator gaming seperti Pewdiepie juga butuh kreativitas untuk membawa vibes seru gim yang dimainkan. Begitu juga dengan Medy Renaldy yang juga nggak asal review mainan tanpa informasi dan karakter kocak yang dibawa. Dibalik semua itu, ada proses kreatif yang ikut membangun personal branding dari si kreator.

Tulisan ini dibuat, bukan untuk menyinggung ParaMantra yang lagi membangun karirnya sebagai konten kreator digital yah. Hanya sebagai pengingat kalau semua profesi termasuk konten kreator memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Tingkat kesulitan yang dimiliki juga pasti berbeda-beda, nggak bisa dengan mudah menggampangkan sebuah profesi dengan mengabaikan sikap profesionalitasnya.

Coba deh ParaMantra komen, siapa konten kreator favoritmu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *