Seni Dongkrak Ekonomi, Minim Apresiasi

seni
Jumlah pelaku ekonomi kreatif Indonesia meningkat pada rentang waktu 2021-2022. MANTRAIDEA/ Lailia Nor Agustina

Mantraidea.com – Tahun 2023, laju pertumbuhan ekonomi kreatif Indonesia kerap menjadi sorotan publik. Hal ini, terjadi akibat adanya pembuktian mengenai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Tanah Air. Kondisi itupun mendorong banyaknya pelaku kreatif dalam negeri. Tidak terkecuali pada subsektor seni yang mencakup kriya, rupa, musik dan sebagainya. 

Corak kreativitas yang diolah dalam sebuah keterampilan telah memberi dimensi baru pada sektor ekonomi kreatif. Menjadikannya sebagai tunggangan untuk perkembangan ekonomi Indonesia. 

Seperti yang dikutip dari siaran pers Kemenparekraf.go.id. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menjelaskan bahwa pelaku kreatif yang tersebar dalam subsektor kriya, kuliner, dan fesyen mencapai angka 94,4%. Namun, skor tinggi tersebut tidak sejalan dengan dukungan yang didapat. Utamanya dalam ranah seni. Bukti nyata lapangan menyebut sebuah karya dan pelakunya kurang mendapat apresiasi serta perhatian masyarakat.

Pelaku Kreatif Dongkrak Ekonomi Tanah Air

Dalam buku Ekonomi dan Bisnis Indonesia (2020), ekonomi kreatif melibatkan kreativitas dan kemampuan intelektual manusia untuk menciptakan sebuah peluang kreatif. Perspektif ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 yang mengaitkan ekonomi kreatif dengan warisan budaya, pengetahuan, serta teknologi. Berdiri di tengah kemajuan, perekonomian Indonesia diharapkan mendapat dorongan dari kekayaan dan kebudayaan yang telah ada sebagai asetnya.

Dilansir dari DataIndonesia.id, Menparekraf mengindikasi adanya peningkatan jumlah  pelaku kreatif di Indonesia yang cukup tinggi sejak tahun 2021 silam. Pada periode tersebut,  sebanyak 21,9 juta orang telah tercatat sebagai pelaku kreatif. Tahun berikutnya, yaitu pada tahun 2022 menyebutkan sebanyak 23,98 juta orang terdata. Jika dibandingkan, jumlah dari tahun 2021 hingga 2022 menunjukkan kenaikan. Maka dari itu, tahun 2023 pelaku kreatif ditargetkan dapat mencapai 24,34 juta orang. 

Data serupa juga terungkap di Kota Malang, seperti yang dikutip dari Jawapos.com. Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Malang mencatat adanya 7.710 pelaku ekonomi kreatif. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan sebanyak 1.266 orang dalam kategori pelaku ekonomi kreatif.

Dukungan terhadap fenomena ini juga dapat ditemukan dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut laporan dari Kompas.com, data pertumbuhan PDB ekonomi kreatif Indonesia pada tahun 2023 mencapai angka yang mengesankan, yakni Rp1.300 triliun. Sementara itu, sektor kriya berperan penting dengan kontribusi sebesar 15% terhadap PDB tersebut.

Peningkatan ini tidak lepas dari kontribusi pelaku kreatif di berbagai subsektor. Kualitas, kuantitas, hingga pangsa pasar, menjadikan pendorong utama laju pertumbuhan ekonomi. Terlebih, ekosistem seni di Indonesia keberadaannya juga telah merambah ke pasar internasional. 

Apresiasi Seni Tidak Sebanding dengan Laju Ekraf

Meninjau dari realitas dunia kreatif, angka pertumbuhan yang terus mengalami peningkatan, ternyata menyimpan perkara krusial. Berkaitan dengan pengakuan dan kompensasi bagi pekerja kreatif. Kontribusi yang dikerahkan oleh para seniman sering kali tidak mendapat penghargaan yang proporsional.

Gagasan dan keterampilan berperan aktif dalam menciptakan suatu karya dengan nilai ekonomi yang substansial. Nyatanya, tunjangan dan aplaus masih dipertanyakan keberadaannya. Menjadi takdir pahit sebagian besar seniman yang terpaksa ditelan mentah-mentah.

Menarik Untuk Dibaca: Batik Lukis 3D: Padukan Seni, Lintasi Batas Tradisi

ilustrasi seni
Ilustrasi apresiasi sebuah karya tidak terbatas pada material ataupun pujian. MANTRAIDEA/ Ratna Diana

Pun banyaknya variasi keterampilan yang digembar-gemborkan oleh pelaku kreatif. Dobrakan inovasi, lonjakan kreativitas, hingga bahan yang baru masih dianggap ‘cetek’. Hal sepele dalam pikiran masyarakat yang sulit untuk memberi atensi besar terkait sebuah karya.

Seperti Muhammad Ivan, pelukis asal Mojokerto, Jawa Timur yang telah lama menyelami seni rupa. Ia mengungkapkan, “Banyak yang bilang kalau pekerjaan ini kurang menjanjikan dan tidak cukup berpengaruh untuk khalayak.” Baginya, kebahagiaan ditemukan dalam proses menciptakan karya. 

Goresan cat, bentuk, hingga ide yang mengambang tetap ditorehkannya dalam sebingkai kanvas. “Sisi seni itulah yang banyak orang tidak paham. Mereka nggak mau cari tau dan mempelajari lebih dalam,” jelas Ivo, sapaannya. Bertahun-tahun menggeluti dunia lukis, Ivo mengaku apresiasi yang didapat terbilang rendah. “Masih sering dipandang sebelah mata,” tambahnya.

Alih-alih hanya berputar pada kurangnya apresiasi dan dukungan. Rupanya, hal ini juga merambat pada proses penjualan. Ketua Komunitas Rajut Malang (KRM), Dyah Arestya, menyoroti realitas pahit di balik gemerlapnya ekonomi kreatif. Ia menyayangkan mengenai persoalan harga yang sering ditawar secara fantastis. 

“Banyak yang bilang ‘bikin kriya gini aja gampang, kenapa harus mahal?’ Padahal, ada waktu dan ketelitian lebih dalam prosesnya,” ungkap Dyah. Selain itu, saat ini semakin banyak orang yang dengan mudahnya mengklaim diri sebagai seniman. Seolah-olah, ada pandangan bahwa setiap orang bisa dengan mudah menghasilkan sebuah karya tanpa melibatkan proses dan dedikasi yang sebenarnya. 

Akar Minimnya Apresiasi

Pada dasarnya, seni adalah suatu keahlian atau skill individu yang dapat dilihat dari berbagai perspektif. Oleh karena itu, bentuk apresiasinya tidak terbatas pada satu sudut pandang. Melainkan, juga dapat diperluas ke segala bentuk ekspresi kreatif.

Selain itu, apresiasi seni juga dapat berupa sanjungan. Peran seorang kurator, pengamat seni, dan akademisi dalam menyampaikan makna tersirat dari karya seniman begitu penting. Menarasikan secara detail pada orang awam arti dan cerita dibalik karya yang mempesona.

Seorang budayawan asal Kota Batu, Jawa Timur menjelaskan bagaimana keterampilan seharusnya berperan. Slamet Hendro Kusumo, pengamatan dan pengalaman puluhan tahun dalam dunia keterampilan telah mengantarkannya pada titik dimana ia akhirnya mengerti kunci dari ‘karya seni’. 

“Kunci seni itu memiliki nilai estetika,” ungkapnya. Slamet menjelaskan estetika yang dimaksud mencakup keindahan, kebenaran, dan manfaat. Hubungan kausalitas atau sebab dan akibat dalam karya menjadi perkara yang cukup krusial, begitu juga dengan kebenaran dan manfaatnya. Namun, ada hal yang lebih penting, “Jika hasil karya tidak memiliki aspek keindahan, apa yang akan dilihat?”  

cerita dan estetika karya lukis
Cerita dan estetika tercermin dalam karya lukis milik Slamet Hendro Kusumo. MANTRAIDEA/ Lailia Nor Agustina

Lebih lanjut, salah satu penyebab minimnya apresiasi terhadap sebuah karya adalah kurangnya pemahaman tentang peran seni dalam membangun identitas bangsa. Hal tersebut mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menetapkan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan Indonesia. 

“Sayangnya, implementasi UU tersebut masih terbatas. Bahkan, belum ada sanksi yang mengikat. Padahal salah satu unsur budaya juga menyangkut seni. Inilah yang mendasari sebab individu kurang mengapresiasi sebuah keterampilan,” tambahnya.

Dalam konteks ini, ia juga menyoroti Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dengan sepuluh objek pemajuan kebudayaan. Mulai dari tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, serta permainan rakyat dan olahraga tradisional. Namun, apa yang terjadi dilapangan menyatakan bahwa kesadaran akan pentingnya seni dalam pemajuan kebudayaan daerah belum sepenuhnya terlaksana. 

Anggapan Seni Hanya Hiburan

Selain UU yang belum optimal, Slamet juga menyoroti tantangan yang dihadapi seniman di tengah masyarakat. Munculnya spekulasi bahwa ‘seni bukanlah kebutuhan pokok’, acap kali menjadi dalih yang dilontarkan oleh sebagian orang. Menjadikan keterampilan ini dianggap sebagai hal yang kurang mendesak hingga diabaikan.

“Beberapa seniman masih berfokus pada kebutuhan ‘perut’ daripada batiniah,” tanggap Slamet. Selain keberadaannya untuk menuangkan sebuah ide, tak sedikit pelaku kreatif juga menjadikan keterampilannya sebagai ladang penghasilan. Entah yang dibuat atas dasar kesukaan atau memang permintaan klien. Namun, terkadang hal ini justru membatasi ruang untuk eksplorasi dan imajinasi tanpa batas dalam sebuah penciptaan karya.

Parahnya, banyak masyarakat belum menyentuh apa yang sebenarnya menjadi tujuan pelaku kreatif tersebut. Maka dari itu, apresiasi dan pemaknaan karya secara mendalam dikesampingkan. Menempatkan karya hanya sebatas intermeso hiburan.

Dalam konteks ini, pengenalan sebuah kreativitas dan keahlian bisa dilakukan sedari kecil. Penanaman pendidikan mengenai pemaknaan sebuah karya dalam pembelajaran menjadi distraksi alternatif. Bukan hanya melihatnya dengan sorot mata saja, melainkan mengerti atas nilai yang ditorehkan di dalamnya.

Tak terbatas pada pendidikan, beragam pelatihan penciptaan sebuah karya pun perlu digalakkan. Tujuannya sederhana, yaitu melibatkan setiap individu untuk melahirkan karya. Serta, memberi ruang bagi mereka untuk menjadi pelaku kreatif dengan dasar paham akan pemaknaan dan apresiasi seni.

Apresiasi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab individu semata, melainkan sebuah tugas bersama yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat hingga pemerintah. Tidak ada salahnya jika seorang seniman memperjuangkan hak atas karyanya. Entah yang berwujud kata ataupun dukungan nyata. 

Kalau dari perspektif ParaMantra, apresiasi sebuah karya itu seperti apa sih? Sharing di kolom komentar yuk!

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *